Kelekatannya dengan dunia wayang justru lebih pada sisi seni rupanya. Ketika bersekolah guru, Thalib remaja sudah punya pekerjaan sampingan yaitu menjual wayang kardus Punakawan. Dia gambar sendiri dengan menjiplak gambar wayang yang sudah ada, kemudian temannya yang menggunting. Kemudian diberi warna dengan sumba bercampur kanji, lantas dititipkan di warung-warung, seminggu kemudian didatangi lagi. Kalau ada yang berkurang, segera diganti dengan wayang yang baru.
Bagi Thalib, wayang adalah karya seni rupa yang unik. Kalau hendak membuat wayang, langkah pertama digambar dulu garis tepinya sampai membentuk suatu figur yang diinginkan. Kemudian digunting, lalu dipahat dan terakhir baru diberi aksen garis dan diwarnai. Proses seperti ini aneh, karena pewarnaan justru dilakukan paling akhir. Bandingkan dengan lukisan, tahapan yang terakhir adalah pemasangan pigura.
Wayang, katanya, telah mengingatkan betapa hidup ini sangat dipengaruhi oleh garis, baik garis yang nampak maupun garis yang tak nampak. Semisal garis khatulistiwa, garis zodiac, garis nasib, garis kodrat dan lain sebagainya. Wayang adalah bentuk sosok yang mengalami distilasi dan deformasi, yang kalau diamati sekilas menjadi sebuah komposisi yang aneh, antara kepala, bokong (pinggul), dan tangan yang panjangnya hampir menyentuh telapak kaki. Dan kaki itu sendiri digambarkan nampak kelima jarinya meski digambar dari posisi samping. Meski demikian, ada sesuatu yang sangat impesif pada sosok wayang, yaitu “pantes”.
Ketika kemudian dia menenuki pembuatan Wayang Rumput, “saya ingin mengabadikan media yang belum tersentuh. Perkara kemudian ada yang meniru, berarti saya bisa memberikan makan orang lain, “ ujarnya. Dan memang, belakangan memang ada seniman asal Sidoarjo yang bermukim di luar negeri, kemana-mana selalu memperkenalkan wayang rumput setelah terangsang ikut workshop yang diberikan Thalib.
Diakuinya, bahwa wayang rumput memang bukan ciptaannya. Itu mainan anak-anak kecil di desa pada suatu masa, yang sekarang nampaknya memang sudah punah. Budaya pedesaan di Jawa memang akrab dengan dunia wayang. Bukan hanya rumput atau jerami, anak-anak desa ada yang membuat wayang-wayangan dari daun nangka, pelepah pohon bambu, dan kemudian seiring dengan perkembangan jaman beralih ke bahan karton. Wayang karton inilah yang lebih populer dijajakan di kampung-kampung sebagai mainan anak-anak hingga sekarang.
Maka Thalib Prasojo, mencoba mengembalikan kenangan lama perihal wayang rumput ini. Bukan sekadar nostalgia, namun ada makna filosofis yang melekat di dalamnya. Karena rumput adalah simbol rakyat jelata, yang tahan terhadap berbagai goncangan, bahkan lautan rumput yang terbakar habis sekalipun masih selalu saja bangkit dengan tunas-tunas barunya. Rumput-rumput muda yang ranum itupun menjadi makanan lezat bagi mamalia. Berulangkali rumput diinjak, dilindas dan dimusnahkan, namun selalu saja tumbuh kembali. Grass root society, masyarakat akar rumput, adalah sebutan bagi golongan rakyat jelata.
Rumput adalah tumbuhan yang selalu mengalah namun seringkali dikalahkan oleh manusia. Meski tumbuh menyeruak sebagai gulma, rumput tak pernah membunuh tumbuhan induknya. Selama ada lahan tersisa, selama ada sinar matahari, rumput selalu hadir di situ. Angin kencang sekuat apapun, tak akan mampu menjebol rumput dari habitatnya. Namun menghadapi angin yang semilir, selaksa rumput bagaikan berzikir dengan khusuknya. Rumput-rumput bergoyang ke kiri, kembali lagi ke kanan, bergerak ke kiri lagi, balik ke kanan lagi. Persis seperti gerakan zikir. Maka salahkah ketika seorang Ebiet G. Ade mengajak kita bertanya pada ”rumput yang bergoyang…..?” Namun bisa jadi, rumput yang bergoyang kanan kiri itu menunjukkan jawaban ”tidak tahu” alias selalu menggeleng setiap kali ditanya apa saja. (*)
gambar2 wayangnya harus diperbanyak lagi.
BalasHapus